cerita ibu Mofu dari kampung Nyampun Biak
Timur menceritakan tentang manarmakeri." Saya sungguh senang menceritakan cerita agung dari tanah Papua
ini. Cerita ini berasal dari kampung Sopen di Biak Barat. Inilah
cerita agung Manarmakeri. Seseorang dari kampung Sopen bernama Yawi
Nusyado. Yawi Nusyado membuat kebun di sebuah bukit di belakang
(bagian darat) kampung Sopen. Setelah membuat kebun itu, dia
membersihkan dan membakarnya setelah itu dia menanaminya dengan
keladi, bete, dan labu. Ketika tanaman-tanamannya bertumbuh Yawi
Nusyado membuat pagar untuk melindungi kebunnya supaya tanamannya
tidak dimakan babi. Yawi Nusyado gembira sekali karena dia menyaksikan
keladi, bete, dan labunya bertumbuh dengan subur. Tidak beberapa lama
yawi Nusyado melihat ada seekor babi yang memakan kebunnya. Yawi
Nusayado berjalan keliling pagar (kebunnya untuk mencari celah atau
lobang) tetapi dia tidak melihat celah atau lobang di pagar
kebunnya. Tiap-tiap hari babi itu memakan kebunnya hingga Yawi Nusyado
bosan (marah) lalu berpikir untuk menangkap babi itu untuk
dibbunuh. Pada suatu malam Yawi Nusyado membawa tombaknya dan perrgi
untuk menangkap babi di pinggir kebunnya. Di tengah-tengah malam Yawi
Nusyado mendengar babi itu berisik dalam kebunnya. Yawi Nusayado
mengintip babi itu dari pinggir pagar kebun hingga dia dapat melihat
dengan baik lalu melempar tombaknya menancap pada babi itu. Tetapi
ketika tombak itu menancap pada babi itu Yawi Nusyado terkejut sekali
karena mendengar babi itu tidak berteriak tetapi berbicara seperti
manusia dan berkata, "Saya berhenti." Keesokan harinya Yawi Nusyado
pergi mencari jejak babi itu agar dia dapat menyusulnya tetapi dia
melihat bukan jejak babi melainkan hanya jejak manusia. Yawi Nusyado
terus mengikuti jejak manusia dan darahnya sampai dia menemukan sebuah
gua. Yawi Nusyado melihat bahwa jalan itu masih terus ke dalam gua
itu, oleh karena itu dia berpikir untuk mengikutinya ke dalam gua
itu. Ketika dia berjalan dua langkah ke dalam Yawi Nusyado mendengar
suara yang menanyakannya dan berkata, "Siapakah engkau, mau kemanakah
engkau dan apa yang engkau cari?" Yawi Nusyado berhenti dan berdiri
mendengar suara itu berkata lagi, "Engkau ingin membawa tombakmu,
tetapi ketika engkau kembali engakau harus berkalan mundur dengan
membelakang lalu pulang." Ketika itu Yawi Nusyado juga menyampaikan
sebuah pertanyaan, katanya: "Saya tidak tahu bagaimana harus
berjalan." Suara itu berbicara lagi katanya, "Ikut dan kerjakanlah apa
yang saya telah sampaikan kepadamu, kalau tidak engkau akan
tergelincir dan jatuh." \fti Ketika itu Yawi Nusyado mengikuti dan
melaksanakan apa yang dikatakan suara itu. Pada saat itu Yawi Nusyado
mendengar banyak orang berpesta, tertawa dan bergembira ria yang
menunjukkan bahwa mereka sangat senang. Suara itu bertanya lagi,
"Engkau sudah dengar dan kenal suara-suara itu kah?" Yawi Nusyadi
menjawab, katanya, "Saya dengar nyanyian dan suara-suara yang penuh
kegirangan.." Pada saat itu mata Yawi Nusyado terbuka dan dia meliha
sebuah kampung besar bersih dan sangat indah di depan dia. Dia juga
melihat penduduk yang berada di kampung itu semuanya kelihatan
muda-muda. Yawi Nusyado juga melihat orang-orang tua yang sudah
meninggal lama ada juga tetapi mereka juga kelihatan
muda-muda. Setelah Yawi Nusyado melihat semuanya suara itu berkata,
"Waktumu belum tiba untuk kamu masuk di sini, oleh karena itu nanti
kamu kembali ke dunia sasor (dunia berkulit lama). "Yang engkau baru
lihat tadi adalah sorga." "Bawalah tombakmu dan pulanglah ke rumah."
Yawi Nusyado tidak mengambil tombaknya tetapi pulang saja karena ada
seekor ular besar berbaring menghalanginya. Yawi Nusyado pulang dengan
pikiran yang terus menerus (melayang) ke sorga yang telah di lihatnya
di gua itu. Pada waktu-waktu tertentu Yawi Nusyado duduk sendirian dan
pikirannya melayang ke sorga, sorga yang penuh dengan kegembiraan yang
tiada henti-hentinya. \fti Lama-kelamaan Yawi Nusyado tidak
memperhatikan tubuhnya hingga dia menjadi kaskado. Tubuh Yawi Nusyado
penuh dengan kaskado sehingga penduduk di kampung Sopen besar maupun
kecil memanggilnya dengan sebutan Mansar Manarmakeri (Orang Tua
berkulit kaskado). Manarmakeri meninggalkan kampung Sopen. Suatu hari
anak kepala kampung di kampung Sopen membawa busur dan panah dan
berjalan keliling pantai. Tidak beberapa lama dia melihat ke depan
seekor kasuari keluar ke pantai dan berjalan ke laut, anak laki-laki
itu berdiri diam-diam dan mengamati apa yang hendak dilakukan kasuari
itu. Kasuari itu pergi ke laut mencari sebuah kolam setelah itu dia
duduk di dlam kolam itu. Kasuari itu duduk sedikit lama kemudian
berdiri dan berjalan ke pantai yang ( kering di darat). Dia pergi ke
tempat yang kering, mengguncang tubuhnnya dan ikan-ikan kecil yang
berada di bulu-bulunya jatuh di atas pasir. Tidak beberapa lama
seorang gadis cantik keluar dari semak-semman di pinggir pantai dan
mengumpulkan ikan-ikan kecil dalam keranjang setelah itu naik dan
duduk di atas punggung kasuari itu dan keduanya masuk ke dalam
hutan. Anak laki-laki itu mengingini anak perempuan cantik dari
kasuari itu oleh karena itu dia terus pulang ke kampung dan
memberitahu para laki-laki di desa itu agar keesokan harinya mereka
semua pergi untuk menangkap kasuari dan anak perempuan cantik yang
telah dilihatnya. Keesokan hari harinya para laki-laki yang tinggal di
kampung Sopen pergi untuk mencari kasuari dan gadis cantik itu ke
dalam hutan. Mereka berkumpul dan mengelilingi (kasuari dan gadis itu)
tetapi tidak sanggup menangkap mereka. Begitu seterusnya mereka
mencari karena anak kepala kampung itu telah berjanji bahwa bila
seseorang dapat menangkap kasuari dan gadis cantik untuk dikawininya
maka dia akan mendapatkan sudara perempuannya (anak perempuan bungsu
dari kepala kampung). Manarmakeri mendengar tetntang pencarian ini
oleh karena itu dia senang untuk ikut mencarikannya. Akan tetapi
penduduk di desa itu mengata-ngatakannya dan berkata, "Mereka yang
pergi adalah laki-laki yang bagus-bagus dan kuat-kuat tetapi mereka
akhirnya tidak sanggup baru engkau orang tua yang tidak berharga
engkaukah yang nanti bisa menangkap kasuari itu?" Manarmakeri hanya
mendengarkan kata-kata mereka tetapi dia berjalan mengikuti para pria
yang hendak masuk ke dalam hutan, dan Manarmakeri pergi ke pohon bakau
dan bersembunyi di dahan pohon ketapang. Tidak beberapa lama dia
mendengar bunyi suara yang keras dari dalam hutan. Para lelaki telah
mengepung kasuari dan anak gadisnya, tetapi kasuari itu berhasil lolos
dari kepungan dan dan berlari ke arah pohon-pohon bakau dan salah
jalan ke tempat Manarmakeri bersembunyi, oleh karen aitu Manarmakeri
berdiri dengan cepat dan memakai tongkatnya untuk mengait kedua kaki
kasuari itu hingga ia jatuh, ketika itu Manarmakeri menangkap gadis
cantik itu. Kasuari itu membawa orang-orangnya dan mereka pulang ke
pulau Yapen, itu yang menyebabkan sekarang ini tidak ada burung
kasuari di pulau Biak. Manarmakeri membawa anak perempuan canrik dari
kasuari itu dan menyerahkanya kepada anak laki-laki dari kepala
kampung untuk dikawini. Hal yang tidak beres untuk Manawmakeri adalah
bahwa anak laki-laki dari kepala kampung itu tidak menepati janjinya
tetapi babi yang diberikan kepada Manarmakeri, oleh karena itu
Manarmakeri memberikan babi itu untuk orang-orangnya (marganya) bunuh
dan akan makan bersama-sama. Orang-orang Manarmakeri itu pergi
mengumpulkan kayu bakar, makanan dan daun-daun labu di
kebunnya. Mereka membunuh babi dan memanggangnya bersama-sama dengan
makanan dan sayuran yang telah mereka ambil dari kebun
Manarmakeri. Ketika panggangan telah masak orang-orangnya makan semua
makanan, sayuran dan daging babi sampai habis dari (tidak ada yang
tersisa untuk) Manarmakeri. Pada saat itu Manarmakeri marah kepada
orang-orangnya dan dia pergi meninggalkan kampung Sopen, kampung yang
sangat dirindukannya tetapi oran-orangnya tidak menghargai
dia. Perjalanan Manarmakeri atau keberangkatan
Manarmakeri. Manarmakeri sangat mencintai kampungnya, Sopen, kampung
dimana dia dibesarkan dan gunung kesayangannya, tempat dia berkebun
dan menikam seekor babi yang mengatakan, "Saya berhenti", oleh karena
itu dia sendiri menamakan bukit itu Yamnaibori (Bukit tempat saya
berhenti). Dia sangat mengasihi rakyatnya tetapi kudis-kudisnya
menyebabkan orang-orangnya mengata-ngatainya dan tidak
menghormatinya. Orang-orangnya tidak tahu mengasihi karena mereka
makan semua tanaman-tanaman dan babinya. Manarmakeri sudah tidak punya
apa-apa, hal yang tersisa adalah tongkat dan perahu kabasya, hanya
kedua benda itu saja. Ketika dia naik ke bukit Yamnaibori dan
pikirannya melayang ke sorga yang telah dilihatnya, dia tidak pulang
cepat dan orang-orangnya makan seluruh makanan yang dipanggang
darinya, dia tidak mau berbicara tentang makanan dan babi yang
dimakannya tetapi hanya mendorong perahu kabasyanya. Dia hanya membawa
dayung, penimba air, dan tongkatnya dan mendayung di sepanjang pantai
ke arah timur (matahari terbit). Pada waktu itu angin barat bertiup
oleh karena itu laut sedikit bergelombang sehingga Manarmakeri
berpikir untuk tidak terus berdayung tetapi berlabuh di kampung
Maundori. Pada saat itu air laut surut sampai mencapai karang-karang
di tepi laut biru dan tidak ada tempat untuk berlabuh. Manarmakeri
menggunakan tongkatnya untuk menggores batu karang dan tempat itu
menjadi terusan/pelabuhan untuk dia mendayung ke darat. Di pantai itu
dia memakai tongkatnya untuk membuat sebuah terusan/teluk untuk
berlabuh. Karena pada saat itu Manarmakeri haus dan tidak ada air yang
tersedia maka dia menggunakan tongkatnya untuk membuat air keluar dari
baru karang yang berada di pinggir pantai. Air itu menjadi mata air
untuk masyarakat di kampung Maundori dan mereka memakainya sebagai air
minum, air itu masih ada dan mereka menyebut mata air itu sebagai "Air
Manarmakeri." Perjalanan ke Mokmer dan pulau Wundi. Ketika angin
bertiup Manarmakeri naik perahu kabasyanya dan berdayung ke arah
Samber. Ketika dia mendekati Samber, Manarmakeri menyelam dan
menangkap ikan Insamen besar dengan tongkat wasiatnya. Dia membawa
ikan Insamen itu dengan perahu Kabasyanya dan berdayung ke rumah
temannya di kampung Samber. Mereka memotong ikan Insamen itu lalu
memasaknya dan makan sampai habis tetapi ibu pemilik rumah itu tidak
mendapatkan bagiannya. Ketika Manarmakeri mengetahui bahwa ibu itu
tidak makan ikan Insamen itu maka malulah ia dan pergi meninggalkan
kampung samber dan berdayung ke kampung Mokmer. Di laut kampung Sorido
Manarmakeri menggunakan tongkat wasiatnya untuk menangkap seekor ikan
besar lagi dan membawanya ke saudara sepupunya, Padawankan, di
Mokmer. Di kampung Mokmer Manarmakeri sangat senang karena bertemu dan
bercaka-cakap dengan saudara sepupunya, Padawankan, karena telah lama
keduanya tidak pernah bertemu. Pada saat itu istri Padawankan sedang
pergi ke kebun dan belum kembali ke rumah, ketika tiu mereka memasak
ikan yang Manarmakeri tangkap di Sorido dan makan sampai habis tetapi
istri Padawankan tidak mendapatkan bagiannya. Pada sore hari isteri
Padawankan pulang dari kebun dan melihat tulang-tulang ikan oleh
karena itu dia menanyakan bagiannya tetapi mereka katakan bahwa ikan
sudah habis, maka dia marah dan mengeluh. Manarmakeri mendengar
pembicaraan isteri Padawankan oleh karena itu dia meminta untuk
pergi. Sebelum dia berangkat sepupunya, Padawankan, memberi dua kelapa
tua dan satu buah sudah bertunas. Manarmakeri mendayung meninggalkan
kampung Mokmer dan pergi ke Meokbundi tempat dimana dia percaya akan
menemukan sorga suatu hari. Manarmakeri tiba dengan selamat di pulau
Meokbundi dan masyarakat di pulau itu memperlakukannya dengan baik dan
tidak mengusir dia. Di pulau Meokbundi Manarmakeri ingin sekali
menyadap nira (minuman tuak dari pohon kelapa) oleh karena itu dia
meminta satu pohon kelapa dari masyarakat di pulau yang telah menolong
dia, akan tetapi mereka menolak memberikan sebuah pohon kelapa untuk
disadapnya. Ketika itu Manarmakaeri menanam tunas kelapanya dan tunas
itu bertumbuh cepat sekali dan menjadi pohon kelapa besar dan dia
menyadapnya sebagai tuak (minuman saguer). Sejak saat itu Manarmakeri
setiap hari hidup dari sadapan minuman saguer, pekerjaan yang sangat
digemarinya. Pekerjaan di Pulau Wundi. Pada suatu pagi Manarmakeri
pergi untuk melihat pucuk kelapanya, akan tetapi dia sangat terkejut
karena dia melihat empat bambunya yang tergantung di pucuk pohon
kelapa kosong, seseorang pasti telah meminum curi minuman
saugernya. Karena setiap pagi minuman saguernya habis terus sehingga
Manarmakeri marah dan berpikir untuk mencari pencuri yang minum
saguernya agar dia dapat menangkapnya. Sejak malam pertama Manarmakeri
duduk di dahan pohon kelapa itu. Tetapi dia melihat keesokan harinya
minuman saguernya masih dicuri. Pada malam kedua Manarmakeri membuat
tempak duduk di tengah-tengah pohon kelapa untuk mengamati pencuri
itu. Tetapi pagi harinya dia melihat lagi bahwa minuman saguernya
habis lagi. Pada malam ketiga Manarmakeri duduk bersembunyi di antara
pelepah kelapa, Keesokkan harinya sebelum fajar menyingsing
Manarmakeri melihat pencuri minuman saguer itu turun ke bawah melalui
pelepah kelapa. Pencuri itu adalah Bintang pagi atau Sampari. Ketika
itu Manarmakeri mengulurkan tangannya untuk menahan dan memeluk dengan
sangat kuat hingga Sampari berjuang untuk membebaskan dirinya tetapi
dia tidak sanggup melepaskan dirinya dari tangan Manarmakeri. Fajar
telah menyingsing; ketika itu Sampari sangat bingung dan berkata, "Oh
orang tua, saya minta supaya engkau membebaskan saya karena hal-hal
yang menyusahkan saya telah datang." Akan tetapi Manarmakeri berkata,
"Saya tidak akan melepaskan engkau sampai engkau memberikan hal yang
sangat saya inginkan dalam beberapa waktu ini." Sampari menanyakan
Manarmakeri apa yang disukainya dan dia menyebut banyak hal yang
diperkirakan akan disukai Manarmakeri tetapi Manarmakeri tidak
menjawab satupun. Oleh karena itu Sampari bertanya lagu dan berkata,
"Jika demikian katakanlah apa yang sesungguhnya sangat Engkau sukai?"
Dengan berhati-hati Manarmakeri menjawab, "Hal yang saya ingin engkau
berikan adalah, Sorga terbuka." Sampari memberitahu Sampari, katanya,
"Manarmakeri permintaanmu telah saya kabulkan pada pagi ini sebelum
matahari bersinar. \fti Engkau telah memiliki sorga dan sorga itu ada
padamu akan tetapi supaya engkau mengetahui kejaiban sorgawi, besok ke
depan kalau engkau melihat anak perempuan dari Rumbarak,Kepala kampung
besar, mandi dengan gadis-gasis lainnya di pantai dekat dengan pohon
bitanggur maka pergilah dan petik beberapa buah Marsh untuk dilempar
ke lau ke arah mereka. Engkau akan melihat apa yang terjadi pada
Insoraki pada wakt-waktu yang akan datang adalah kekuatan dari sorga
yang telah engkau peroleh dari saya. Saya minta supaya engkau
melepaskan saya karena matahari pagi telah naik, terima kasih
banyak. Kemudian Manarmakeri melepaskan Sampari untuk berangkat karena
dia telan mendapatkan apa yang dirindukannya. Beberapa hari berlalu
Manarmakeri melihat ke laut beberapa anak gadis sedang mandi di pantai
dekat dahan-dahan pohon bitanggur yang condong ke laut. Manarmakeri
berjalan diam-diam dan bersembunyi di belakang pohon bitanggur dan
dengan hati-hati melihat gadis yang sangat cantik yaitu Insoraki yang
sangat terkenal di kampung.. Manarmakeri memetik buah-buah bitanggur
kemudian mengucapkan mantra dan melemparkannya ke air laut. Buah-buah
bitanggur itu hanyut ke air laut hingga satu buah masuk ke dalam dan
menyentuh payudara Insoraki. Insoraki terkejut dan memegang buah
bitanggur itu dan melemparnya ke luar. Tidak beberapa lama, buah yang
kedua masuk ke dalam dan menyentuh payudara Insoraki lagi. Dia
memegang buah itu dan menlemparkannya sangat jauh ke luar. Tetapi buah
bitanggur yang ketiga masuk dan menyentuh payudara Insoraki
lagi. Ketika insoraki pulang ke rumah payudaranya gatal-gatal oleh
karena itu ia menggaruknya sampai tidak beberapa kemudian ia mendapati
dirinya sedang hamil. Orang tua Insoraki terkejut dengan apa yang
telah terjadi pada anak gadis mereka, mereka menanyakan orang-orang di
pulau Wundi kira-kira siapa yang mengetahui penyebabnya yang
sesungguhnya, tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Insoraki sendiri
tidak mengetahuinya. Tidak beberapa lama waktunya untuk melahirkan
seorang anak telah tiba dan dia mekahirkan seorang anak dan anak itu
adaalah seorang anak laki-laki, dan mereka menamainya dengan nama
Manarbew. Manarbew bertumbuh cepat sekali dan besar dan tampan sekali
dan mulai mengerti dan dapat berbicara, sejak itu dia terus-menerus
menanyakan ibunya setiap hari, katanya, "Ibu, ayah ada di mana?" Orang
tua Insoraki bosan oleh karena itu mereka mengadakan pertemuan untuk
memrencanakan sebuah pesta (perayaan tari) dan pada pesta itu mereka
akan mencari ayah Manarbew. Hari itu tiba dan pesta itu telah dimulai
dan semua orang yang di desa berkumpul untuk mengambil
bagian. Insoraki dan anaknya Manarbew duduk di bagian paling depan
sgar dapat melihat laki-laki yang menyanyi wor dan memukul tifa agar
Manarbew dapat mengenali ayahnya. Yang berjalan pertama adalah barisan
anak-anak muda, tetapi Manarbew tidak melihat ayahnya. Barisan yang
kedua adalah orang tua setengah baya, tetapi Manarbew belum melihat
ayahnya. Setelah itu barisan orang-orang tua-tua lagi berjalan tetapi
Manarbew tidak bergerak sama sekali. Kemudian barisan yang sangat
terakhir yaitu orang-orang yang sangat tua sekali, dan Manarmakeri
adalah yang berjalan paling belakang, dia memegang tongkat dan
daun-daun untuk mengusir lalat. Ketika orang-orang tua itu berjalan di
depan Insoraki dan Manarbew, Manarbew menunjuk Manarmakeri dan
berkata, "Ibu, itu ayah, ibu, itu ayah." Manarbew mengatakan demikian
dan meronta-ronta untuk pergi memeluk ayahnya, tetapi Insoraki
menahannya karena dia sangat jijik terhadap Manarmakeri. Manarbew
meronta-ronta sampai ibunya melepaskannya dan dia berlari memeluk
Manarmakeri. Ketika itu, pesta besar itu bubar, mereka marah karena
Manarmakeri mengawini Insoraki, gadis yang sangat cantik di desa
itu. Mereka menghancurkan rumah-rumah nmereka dan mengambil
barang-barang mereka, dan, memecahkan perahu-perahu kecil yang lain
semua karena mereka tidak ingin Manarmakeri dan isterinya
menggunakannya. Orang-orang itu semuanya berlayar meninggalkan pulau
Wundi dan pergi tinggal di Yobi. Insoraki, Manarbew dan Manarmakeri
juga mau ikut perahu mereka tetapi mereka ditolak. Adik laki-laki dari
Insoraki yaitu Sanerari bersimpati kepada mereka sehingga dia turun
untuk tinggal bersama mereka di pulau Wundi. Pada sore harinya,
Manarbew lapar sehingga dia meminta makanan dari ibunya,
Insoraki. Ibunya,Insoraki, mengatakan, "Pergilah makan kulit kaskado
dari ayahmu." Manarbew pergi meminta makanan dari ayahnya,
Manarmakeri, dan Manarmakeri menyuruh dia untuk masuk ke dalam kamar
dan melihat (apa yang ada di dalam kamar) dan dia melihat banyak
makanan ada di di situ. Manarbew memberitahu ibunya, Isorakim dan
Insoraki masuk ke dalam melihat dan terkejut tetapi dia menyimpan (hal
tersebut) dalam hatinya. Tiap-tiap hari makanan tersedia begitu terus
dan mereka makan saja. Pada suatu hari Manarmakeri pergi membakar
dirinya di pohon kayu besu yang dekat dengan bagian pulau yang bernama
Kaweri. Pada sore harinya Manarmakeri berjalan pulang ke rumah,
Manarbew melihatnya dari kejauhan dan berkata kepada ibunya Insoraki,
" Ibu, coba lihat ayah yang berjalan dari sana." Insoraki tidak
percaya dan berkata, "Jangan angkuh karena ayahmu berkudis dan
gatal-gatal." Ketika dia tiba di rumah barulah Insoraki mengetahui
denganpasti bahwa Manarmakeri telah menggantikan kulitnya yang lama
dengan kulit yang baru dan dia kelihatan muda dan tampan
sekali. Manarbew berkata kepada ibunya, katanya, "Ibu ayah itu sangat
sakti dan bisa melakukan segalka sesuatu, dia hanya berbicara dan
berbagai buah-buahan dan makanan ada semua." Cobalah lihat dia merubah
dirinya sendiri menjadi baru dan dia yang sekarang ada di
tengah-tengah kita ini. Pada awalnya Insoraki tidak begitu percaya
hal-hal yang dikatakan Manarbew, tetapi lama-kelamaan hatinya
percaya. Oleh karena itu pada suatu hari Insoraki memarahi suaminya,
Manarmakeri dan berkata, "Apa yang menyebabkan engkau tidak
memberitahu dirimu yang sebenarnya supaya orang-orang saya jangan
meninggalkan kita. Tetapi Manarmakeri menjawab, "Jangan marah karena
nanti kita menyusul mereka." Keesokkan harinya Manarmakeri pergi
berdiri di pantai dan membuat sebuah perahu Mansusu di pantai. Dia
mendorong perahu yang telah dibuatnya untuk berlabuh di air laut
tetapi dia melihat perahu Mansusu itu tidak berkenan di hatinya. Dia
membuat perahu Wiron dan mendorongnya lagi (ke air laut) tetapi dia
tidak menyukainya karen abanyak orang telah membuatnya maka ia tidak
menyukainya. Ketika itu dia membuat prahu Karures yang besar dan
mendorongnya (untuk) berlabuh (pantai) dan itu yang disukai
Manarmakeri. Mereka kemudian mengumpulkan barang-barang mereka dan
berlayar meninggalkan pulau Wundi ke Krawi untuk bertemu orang-orang
mereka. Dari Krawi ke Numfor. Manarmakeri, Insoraki, Manarbew dan
pamannya Saneraro berlayar dengan perahu Karures dan dengan cepat saja
mereka tiba di Krawi. Semua orang-orang dari pulau Wundi yang
meninggalkan mereka ada di tempat itu. Manarmakeri menyampaikan pesan
ke darat agar bapa dan mama mantunya pergi ke laut dan berbaring agar
perahu karures dapat didorong melalui tubuh mereka. Kedua orang tua
itu menolak dengan luar biasa dan mengata-ngatai Manarmakeri, katanya,
"Dia sangka dia apa sehingga dia mau perahunya menjadikan tubuh mereka
sebagai bantalan." Orang-orang di situ menolak Manarmakeri sehingga
Manarmakeri marah dan berlayar pulang ke Numfor. Seandainya mereka
tahu maka mungkin mereka akan menuruti kata-katanya dan dengan
demikian merekapun berganti kuli yang lama menjadi baru (muda) seperti
bagaimana dia menjadi baru (muda). Bapa dan ibu mantunya seandainya
hari itu mereka berbaring dan perahu Karures melaluji tubuh mereka
maka mereka akan menggantikan tubuh mereka menjadi muda seperti
Manarmakeri. Perahu Karures berlayar ke bagian matahari terbenam dan
tiba di pulau Numfor. Manarbew menangis ingin bermain di pantai karena
panas terik. Di tempat itu Manarmakeri melempar sebuah baru ke darat
dan menjadi pulau yang diberi nama Poiru. Manarbew turun ke darat
bermain di pantai dari pulau kecil itu. Pulau Poiri hingga saat ini
kita lihat ada di laut pulau Pakreki. Di pulau itu Manarmakeri menanam
empat pohon dan keempat pohon itu berkembang menjadi empat marga besar
yaitu: Rumberpon, Rumansara, Anggraidifu, dan Rumberpur. Yang menjadi
kepada dari keempat marga ini adalah, "Funkawyan." Keberangkatan ke
kepulauan Raja Ampat dan ke bagian barat.. Manarmakeri dan keluarganya
tinggal untuk beberapa saat di Numfor. Manarmakeri berpesan kepada
orang-orangnya, katanya, "Nanti saya akan membuat hal-hal yang ajaib
di pulau ini akan tetapi saya minta agar kalian mengikuti kata-kata
saya dengan baik." Bila seseorang meninggal jangan tangisi dia karena
nanri dia akan bangkit dan hidup kembali. Bila makanan habis jangan
cari ke pulau Yapen karena berbagai macam makanan akan datang sendiri
ke sini. Masyarakat di Numfor tidak mengikuti pesan Manarmakeri,
mereka menangisi orang mati dan masih mencari makanan ke pulau
Yapen. Manarmakeri marah kepada orang-orang yang tidak menuruti
(pesan-pesannya) dan dia mendorong perahunya untuk pergi
seterusnya. Sebelum mereka bersiap-siap untuk berlayar Manarber masih
tersu bermain di pantai. Manarmakeroi melempar sebuah ular beracun
untuk menakut-nakuti Manarbew, oleh karena itu Manarbew takut dan
pergi naik ke perahu. Sejak saat itu ikak beracun banyak di Numfor
hingga saat ini. Manarmakeri dan keluarganya berlayar ke pulau-pulau
Raja Ampat dan dari situ mereka terus berlayar ke bagian matahari
terbenam sampai tiba di tanah asing. Itu yang menyebabkan orang-orang
asing memiliki kekayaan tetapi kita tidak punya apa-apa, Pesan-pesan
Manarmakeri. Demikianlah ceritanya seperti itu, Manarmakeri akan
datang pada generasi ke tujuh. Manarmakeri memberikan pesan-pesannya
sebagai berikut: Pertama, masyarakat tidak boleh makan labu dan babi
karena keduanya itu yang menyebabkan Manarmakeri meninggalkan kampung
Sopen. Kedua, masyarakat tidak boleh makan ular dan udang karena
mereka juga berganti kulit seperti Manarmnakeri berganti
kulit. Ketiga, tidak seorangpun boleh menumpahkan darah karena di
tempat darah tumpah tidak ada perdamaian. Keempat, masyarakat harus
membangun rumah-rumah untuk menampung orang-orang mati yang akan
bangkit lagi. Mereka harus membangun rumah-rumah (gudang-gudang) besar
untuk menampung makanan-makanan dari Manarmakeri. Mereka harus
mengumpulkan banyak kayu bakar karena ketika Manarmakeri datang nati
bumi akan gelap selama tiga hari. Sampai di sinilah cerita ini.
Jumat, 04 Mei 2012
MANSAR MANARMAKERI
ARNOLD AP, MEMBANGUN BUDAYA PEMBEBASAN
Arnold Clemens Ap adalah sosok fenomenal yang lahir dalam blantika musik Papua pada era 1980-an. Tidak banyak Masyarakat Papua yang mengenalnya saat ini karena semua dokumen musik miliknya dilenyapkan pasca beliau dibunuh oleh Kopasandha pada Hari Paskah Tahun 1983 (Aditjondro; 2000).
Arnold Ap berasal Dari Pulau Numfor di Pesisir Utara Pulau Papua. Beliau yang masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) saat itu sudah dipercayai oleh pihak kampus untuk menjadi Kepala Museum Loka Budaya Uncen. Kepercayaan dari pihak kampus ini tidak disia-siakan. Beliau membangun sebuah group musik yang diberi nama Mambesak (Burung Nuri) yang menurut Orang Biak adalah Burung Suci. Gerakan ini kemudia dianggap sebagai sejarah awal gerakan mahasiswa di Papua.
Kedekatan Arnold dengan Masyarakat Adat Papua dari berbagai unsur masyarakat menimbulkan kecurigaan pihak aparat keamanan yang mencurigainya memiliki kedekatan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal inilah yang kemudian merenggut nyawanya di Pasir Dua Jayapura saat jendak melarikan diri ke Papua New Guinea (PNG).
Membangkitkan kembali kesadaran masa akan jati dirinya sebagai Bangsa Papua yang di lakukan oleh Arnold Ap ini bagi Ibe Karyanto adalah berusaha membangun budaya pembebasan bagi rakyatnya yang tertindas dalam bidang seni sekalipun karena dominasi musik gereja dan musik melayu yang sedang melanda Tanah Papua saat itu. Arnold Ap dengan Grup Mambesaknya yang terus menggeliat di Tanah Papua membangun begitu banyak kesadaran di tingkat masa rakyat mampu membangkitkan bukan cuma kesadaran dirinya tapi juga kesadaran politik. Hal ini tidak dapat dianggap enteng oleh aparat karena membahayakan bagi interitas bangsa dan negara. Arnold Ap dengan kelompoknya Mambesak, mengalami penculikan dan pembunuhan karena dinilai membahayakan negara dengan membangkitkan jatidiri bangsa Papua melalui tarian dan nyanyian (J. Budi Hernawan OFM, Gereja-gereja di Papua: menjadi nabi di Tanah sendiri? Makalah seminar pada kuliah perpisahan Dr. At. Ipenburg STT I.S. Kijne, Abepura, 30 Maret 2002). Sungguh ironis.
Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya. Semoga alat negara ini tidak lagi menjadi mesin yang membunuh karakter budaya di dalam negaranya sendiri seperti yang telah terjadi di Papua ini dampak dari kekerasan ini, tidak banyak musisi Papua yang muncul karena ketakutan dan trauma di masa lalu. Semoga dengan bergulirnya demokrasi yang lebih terbuka di seantero Nusantara akan melahirkan lagi musisi-musisi muda Papua yang juga ikut meramaikan blantika musik Indonesia.
Arnold Ap berasal Dari Pulau Numfor di Pesisir Utara Pulau Papua. Beliau yang masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) saat itu sudah dipercayai oleh pihak kampus untuk menjadi Kepala Museum Loka Budaya Uncen. Kepercayaan dari pihak kampus ini tidak disia-siakan. Beliau membangun sebuah group musik yang diberi nama Mambesak (Burung Nuri) yang menurut Orang Biak adalah Burung Suci. Gerakan ini kemudia dianggap sebagai sejarah awal gerakan mahasiswa di Papua.
Kedekatan Arnold dengan Masyarakat Adat Papua dari berbagai unsur masyarakat menimbulkan kecurigaan pihak aparat keamanan yang mencurigainya memiliki kedekatan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal inilah yang kemudian merenggut nyawanya di Pasir Dua Jayapura saat jendak melarikan diri ke Papua New Guinea (PNG).
Membangkitkan kembali kesadaran masa akan jati dirinya sebagai Bangsa Papua yang di lakukan oleh Arnold Ap ini bagi Ibe Karyanto adalah berusaha membangun budaya pembebasan bagi rakyatnya yang tertindas dalam bidang seni sekalipun karena dominasi musik gereja dan musik melayu yang sedang melanda Tanah Papua saat itu. Arnold Ap dengan Grup Mambesaknya yang terus menggeliat di Tanah Papua membangun begitu banyak kesadaran di tingkat masa rakyat mampu membangkitkan bukan cuma kesadaran dirinya tapi juga kesadaran politik. Hal ini tidak dapat dianggap enteng oleh aparat karena membahayakan bagi interitas bangsa dan negara. Arnold Ap dengan kelompoknya Mambesak, mengalami penculikan dan pembunuhan karena dinilai membahayakan negara dengan membangkitkan jatidiri bangsa Papua melalui tarian dan nyanyian (J. Budi Hernawan OFM, Gereja-gereja di Papua: menjadi nabi di Tanah sendiri? Makalah seminar pada kuliah perpisahan Dr. At. Ipenburg STT I.S. Kijne, Abepura, 30 Maret 2002). Sungguh ironis.
Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya. Semoga alat negara ini tidak lagi menjadi mesin yang membunuh karakter budaya di dalam negaranya sendiri seperti yang telah terjadi di Papua ini dampak dari kekerasan ini, tidak banyak musisi Papua yang muncul karena ketakutan dan trauma di masa lalu. Semoga dengan bergulirnya demokrasi yang lebih terbuka di seantero Nusantara akan melahirkan lagi musisi-musisi muda Papua yang juga ikut meramaikan blantika musik Indonesia.
source: http://arnold-mambesak.blogspot.com/2010/04/arnold-ap-membangun-budaya-pembebasan.html
Langganan:
Postingan (Atom)