Selasa, 08 Mei 2012

Hiu Raja Ampat Terancam

JAKARTA, KOMPAS.com - Populasi hiu di Raja Ampat Terancam dengan aksi perburuan oleh nelayan ilegal yang berasal dari luar kawasan.

Bukti perburuan hiu nyata. Pada 30 April 2012, masyarakat adat kampung Salyo dan Selpele serta Pos Angkatan Laut Waisai menahan 33 nelayan ilegal yang berburu hiu di kawasan itu.

Tim patroli menyita sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari manta dan teripang yang bernilai 1,5 miliar rupiah. Hasil tangkapan dan dokumen kapal disita. Sayangnya, nelayan ilegal berhasil melarikan diri dan kini masih dalam pengejaran.

Ada tujuh kapal yang digunakan untuk perburuan hiu. Satu kapal berasal dari Buton, dua kapal berasal dari Sorong dan empat kapal berasal dari Kampung Yoi, Halmahera. Tak satu pun berasal dari Raja Ampat.

"Ini adalah kasus ketiga sejak 2005 dan juga kasus terbesar," kata Ketut Sarjana Putra, Direktur Conservation International (CI) Indonesia.

Ketut yang dihubungi Kompas.com, Selasa (8/5/2012) mengungkapkan, besarnya kasus kali ini dinilai dari jumlah awak kapal yang terlibat perburuan serta jumlah hasil tangkapan.

Menurut Ketut, kasus ini mencerminkan bahwa populasi hiu di Raja Ampat kembali menghadapi ancaman.

Sebelum tahun 2005, hiu di Raja Ampat diburu habis-habisan. Masyarakat setempat mengatakan bahwa hiu sudah dulit dijumpai, bahkan ada yang mengatakan sudah tidak ada.

"Saat ini, populasi hiu sudah mulai kembali. Tapi dengan adanya perburuan ini, hiu kembali terancam," tutur Ketut.

Raja Ampat memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp 165 miliar per tahun dan menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp 2,5 miliar per tahun. Hiu menjadi salah satu alasan wisatawan datang ke Raja Ampat.

Ketut memaparkan, jika populasi hiu kembali menurun dan sulit dijumpai, kerugian dari sisi pariwisata akan bernilai miliaran rupiah juga.

"Kita juga mengalami kerugian dari sisi keseimbangan ekosistem. Hiu ini top predator. Gangguan populasinya juga akan berpengaruh pada ekosistem," ungkap Ketut.

Terkait kasus lolosnya pemburu hiu baru-baru ini, Ketut menuturkan, pemerintah telah mengirimkan bantuan dengan menempatkan polisi patroli dan pos Angkatan Laut di Pulau Sayang, Raja Ampat. Pemerintah juga telah menempatkan polisi perairan di Pulau Wayag sejak 4 Meu 2012.

Namun demikian, Ketut menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan lebih tegas untuk penyelamatan Raja Ampat. Jumlah awak patroli di Raja Ampat harus ditambah dan harus dilakukan patroli rutin. pemerintah juga mesti mendukung upaya masyarakat adat dalam memantau lautnya. 


 http://sains.kompas.com/read/2012/05/08/13574014/Hiu.Raja.Ampat.Terancam

Masyarakat Tolak Pembangunan Gedung Kantor Bupati Dengan Simbol Agama Tertentu

PAPUAN, Fakfak --- Masyarakat asli Papua di Kabupaten Fakfak menolak pembangunan gedung kantor Bupati dan Wakil Bupati Fakfak yang menunjukan simbol agama tertentu, karena dapat menyulut konflik antar masyarakat setempat.

“Baik dari komunitas muslim maupun kristen, serta agama lainnya memprotes pembangunan gedung kantor Bupati Fakfak yang dianggap hanya mewakili simbol agama tertentu.”
Demikian penegasan Jhon Sohitusa, Sekertaris Klasis GKI Kabupaten Fak-Fak, ketika menghubungi suarapapua.com, Minggu (06/05) siang tadi dari Fakfak.

Menurut Jhon, pembangunan gedung kantor Bupati dengan menggunakan simbol agama tertentu dapat menyulut konflik antar gereja satu dengan gereja yang lain di Fakfak.

Karena itu, Jhon sangat berharap agar gedung kantor Bupati Fakfak dibangun selayaknya kantor sebagai tempat bekerja dan melayani masyarakat Fakfak yang beragam, sebab jika terus dibiarkan dapat menimbulkan persepsi yang negatif dikalangan masyarakat.

Sementara itu, tokoh masyarakat muslim Fakfak, Muhammad Sanaki juga sependapat dengan Jhon Sohitusa, bahwa menolak pembangunan gedung kantor Bupati Fakfak dengan memakai simbol agama tertentu.

“Masyarakat di Fakfak sangat beragama, jadi kurang elok kalau memakai simbol agama tertentu untuk pembangunan gedung kantor Bupati Fakfak,” ucap Sanaki kepada media ini.

Sedangkan menurut Dorus Wakum, Kordinator Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (KAMPAK) Papua, pembangunan gedung kantor Bupati dengan menggungkan simbol agama tertentu adalah kebijakan Bupati yang dinilai keliru dan salah.

“Selain memprotes simbol gedung kantor Bupati, juga ada dugaan korupsi dalam pembangunan kantor Bupati yang dilakukan tanpa kordinasi dengan DPRD Fakfak,” tegas Dorus.

Selama melakukan invesitagas pada bulan Maret 2012 lalu, KAMPAK Papua melihat pembongkaran gedung kantor Bupati yang seharusnya mendapat persetujuan dari DPRD, namun hal ini tidak dilakukan.
“Bupati menggunakan otoritasnya menyuruh membongkar gedung kantor Bupati tanpa kordinasi dengan dewan, ini sudah salah dan menyalahi aturan, dan harus segera diproses oleh aparat penegak hukum,” kata Dorus yang mengaku telah melihat langsung pembangunan gedung kantor Bupati tersebut.

Sebelumnya, Wilhelmina Woy, Ketua Komisi III DPRD Fakfak menyampaikan bahwa laporan soal dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Muhammad Uswanas dengan salah satu pengusaha yang dianggap sebagai cukong Pilkada, Bahlil Lahadalia telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

“Kami telah melaporkan dugaan korupsi pembangunan beberapa mega proyek, termasuk pembangunan gedung kantor Bupati Fakfak ke KPK di Jakarta. Kita sama-sama menunggu proses lebih lanjut,” kata Wilhelmina kepada suarapapua.com beberapa waktu lalu di Jakarta.

sumber : http://www.suarapapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=222:masyarakat-tolak-pembangunan-gedung-kantor-bupati-dengan-simbol-agama-tertentu&catid=9&Itemid=112&lang=en

Pertamina Digugat Anak Papua

PT Pertamina (persero) dan PT British Petroleum Indonesia digugat anak di Papua dan tetangganya. Gugatan yang didaftarkan Yunus Tanggareri, demikian nama anak kelahiran Papua itu mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan diajukan Yunus Tanggareri, Moi Meram, dan Harun Meram Wagab. Ia menggugat karena Pertamina dan BP diduga menyebabkan kebakaran di hutan sagu masyarakat Papua seluas 1512 meter persegi (m)2.

Luasan area lahan sagu itu tertanama sagu dewasa sebanyak 234.000 pohon; sagu remaja 29.300 pohon, dan sagu rumpun atau anakan sejumlah 58.600 pohon. Para penggugat mengklaim kebakaran terjadi karena para tergugat telah melakukan eksploitasi, eksplorasi, atau kegiatan pengeboran di Kabupaten Fak-Fak, Papua.

Namun, tergugat meminta majelis hakim menolak gugatan tersebut. Pasalnya, salah satu penggugat, Yunus Tanggareri, masih berada di bawah umur. “Penggugat masih belum dewasa,” ujar Freddy Alex Damanik, kuasa hukum Pertamina dalam berkas jawabannya.

Menurut keterangan Freddy dalam Jawaban yang dibacakan di PN Jakpus, Kamis (19/04), Yunus lahir pada 5 Juni 1992. Ia baru berusia 20 tahun saat mengajukan gugatan ini.

Demikian pula saat kebakaran yang terjadi 15 tahun lalu. Penggugat masih berusia lima tahun. Freddy menyangsikan Yunus telah memahami peristiwa kebakaran yang terjadi saat itu. “Apakah masuk akal anak berusia lima tahun sudah mengerti peristiwa yang terjadi pada saat itu,” tanya Freddy.

Selain tidak memiliki kapasitas untuk mengajukan gugatan, Freddy juga mempertanyakan keabsahan Yunus sebagai pemilik lahan yang terbakar. “Jika benar ia sebagai pemilik hutan sagu, Penggugat Yunus Tanggareri seharusnya menunjukkan dan menjelaskan surat keterangan waris dari orang tuanya karena pada saat kejadian kebakaran tahun 1997, jelas-jelas Penggugat masih berumur 5 tahun sehingga sangat tidak mungkin Penggugat adalah sebagai pemilik hutan sagu tersebut,” tudingnya..

Senasib dengan PT Pertamina, Dirut PT British Petroleum Indonesia digugat  terkait peristiwa yang sama. Hal yang mengejutkan adalah perusahaan tersebut tidak pernah ada.

“PT British Petroleum Indonesia tidak pernah ada,” terang Perry Cornelius Sitohang dalam jawaban yang dibacakan di persidangan PN Jakpus, Kamis (19/04). BP Berau Ltd mengaku tidak pernah mengetahui keberadaan PT British Petroleum Indonesia.

Perry menuturkan bahwa BP di Indonesia, bukan PT British Petrolium Indonesia, bukanlah merupakan badan hukum Indonesia dan bukan pula berbentuk badan hukum perseroan terbatas. “Masyarakat umum menyebut nama BP di Indonesia sebagai BP Indonesia dan akhirnya diterima menjadi suatu penyebutan umum,” ungkap Perry.

Tak hanya itu, BP Berau Ltd menuding Yunus cs memiliki itikad buruk dalam mengajukan gugatannya, Exceptio Doli Praesintis. Tudingan ini dilemparkan karena kasus ini telah terjadi 15 tahun lalu dan BP Berau Ltd mengaku tidak terlibat dalam kasus pengeboran sumur gas tersebut.

Perry menuturkan jikalau kebakaran tersebut memang disebabkan oleh kliennya, hal ini tentu masuk ke dalam ranah pidana mengingat dampaknya yang cukup besar terhadap kerusakan lingkungan. Namun, BP Berau Ltd sama sekali tidak pernah menerima panggilan apapun dari pihak Kepolisian Republik Indonesia maupun pihak pemerintah terkait.

“Tindakan para penggugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan licik,” kata Perry dalam jawaban yang dibacakannya.

“Kami memohon kepada hakim untuk menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para Penggugat dalam surat gugatannya terkait perbuatan melawan hukum yang diajukan terhadap BP Berau Ltd., terkecuali pada hal-hal yang kebenarannya diakui secara tegas oleh BP Berau Ltd.,” lanjutnya.

Papua Menjawab
Tudingan-tudingan yang ditujukan kepada para penggugat dibantah keras Cosmas E Refrai, kuasa hukum penggugat. Ia mengatakan kedewasaan jangan dilihat hanya dari usia, tetapi juga sisi perkawinan.

“Menurut hukum perdata, belum dewasa itu belum pernah menikah dan belum mencapai usia 21 tahun. Nah, beliau ini sudah mau bercucu. Kedewasaan tidak hanya dilihat dari umurnya, tetapi dari sisi perkawinan,” tegasnya di luar persidangan, Kamis (04/05).

Cosmas pun juga tidak mengkhawatirkan kesalahan nama PT British Petroleum Indonesia. “Persoalan nama bagi rakyat Papua tidak menjadi persoalan, bahkan tidak salah secara hukum. Kalau memang mereka salah kenapa BP Berau datang ke persidangan,” jawabnya tegas.

Cosmas juga heran akan penolakan BP Berau. “Jika mereka tidak mengakui terlibat dengan perkara ini, mengapa dalam jawaban tergugat BP Berau mengakui mereka mempunyai proyek dengan Pertamina? Jawaban itulah yang kita tunggu. Jika memang hakim menolak gugatan ini, itu gampang, tinggal diperbaiki,” cecarnya.

Terkait permintaan penunjukan akta otentik tentang kepemilikan lahan sagu yang dipertanyakan oleh tergugat, Weynand Tanggarery, Ketua Adat Kabupaten Fak-Fak dan juga mantan pejuang OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang ada di tempat yang sama, ikut berbicara.

“Kami memiliki pembawaan-pembawaan, khususnya Indonesia Timur ini, kalau ya itu ya. Kalau tidak, tidak. Kalau saya katakan saya punya, saya punya. Kalau itu ibu punya, ibu punya,” jawabnya tegas.

Weynand mengatakan rakyat Papua tidak memerlukan akta untuk menandakan hak milik mereka. Rakyat Papua sangat menghormati hak orang lain dan tidak pernah mengambil kepunyaan orang lain.

“Kami tidak pernah anggap remeh orang lain, kita semua sama. Tapi kalau hak-hak dasar kita musnah, itu ada dua. Mati atau hidup,” lantangnya

source :  http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa3cd959d945/pertamina-digugat-anak-papua